Jilbab: Rahasia Politik, Rahasia Teks, & Rahasia Waktu | Monday, September 19, 2005 
                   
                   
                   Jilbab: Rahasia Politik, Rahasia Teks, & Rahasia Waktu
  HARI menjelang senja. Seorang pria setengah baya mengetuk pintu Aula Mahasiswi Universitas 'Ain Syams, Kairo, Mesir. Belasan mahasiswi yang melingkar lesehan di dalam aula spontan gaduh. Mereka tergopoh mengenakan hijab (kerudung) dan niqa' (kain penutup wajah) masing-masing. Sesaat kemudian, suasana pun tenang. Meski dandanan belum rapi, pimpinan mahasiswi mempersilakan tamu pria itu masuk.
  Tampaklah kemudian seorang lelaki mengenakan gallabiyyah, gaun putih khas Arab, berlengan panjang, longgar, dan ujungnya sampai tungkai kaki. Ia pun ternyata ''berkerudung'' kufiyah. Ia menarik ujung selendang kepalanya untuk menutup muka lalu masuk perlahan sambil merapat tembok agar tidak melihat kerumunan kaum hawa. Pria itu menuju tirai yang dipasang diagonal di sudut ruangan.
  Pria itu lantas duduk menghadap para wanita dari balik tirai. Di balik kain pemisah, ia membuka penutup wajah, membiarkan ujung kufiyah-nya melilit bahu tapi tetap menutup kepala. Ia kemudian mendiskusikan ayat-ayat Al-Quran tentang hijab menurut penafsiran Abul A'la al-Mawdudi, tokoh revivalis Islam asal Pakistan. Kata hijab ini di Indonesia lebih dikenal dengan istilah jilbab.
  Para mahasiswi sesekali memberi komentar halus, namun kritis. Diskusi pun berlangsung dinamis. Kedua pihak tak terganggu penampilan fisik lawan jenisnya. Masing-masing berpegang pada norma khas pergaulan pria-wanita: di ruang publik wanita harus berjilbab dan pria-wanita harus dipisah tirai. Setelah 30 menit, penceramah pria berpamitan dan pergi dengan cara seperti ketika ia masuk.
  Fadwa El Guindi, kini profesor antropologi di Universitas Southern California, terpesona oleh peristiwa yang ia saksikan langsung pada 1979 itu. Kebetulan, pada sore yang sama, Fadwa tengah berbincang dengan beberapa mahasiswi di aula itu. Ketika itu, Fadwa sedang melakukan observasi lapangan untuk riset etnografis mengenai gerakan Islam di Mesir.
  Pengalaman itu memberi inspirasi pada wanita kelahiran Mesir ini. Ia melihat tema jilbab tak cukup diulas dalam lingkup kajian wanita, sebagaimana banyak dibahas kalangan feminis. Faktanya, laki-laki yang dilihatnya itu juga berjilbab. Sudut pandang inilah yang belakangan menjadi salah satu pilar ide dasar bukunya, Veil: Modesty, Privacy, and Resistence terbitan Oxford, 1999.
  Anti-Pendekatan Parsial
  APRIL lalu, versi Indonesia buku ini diluncurkan Penerbit Serambi, Jakarta, dengan judul Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Selain bertolak dari kritik atas kajian wanita, buku ini juga didorong oleh kritik pada dua pendekatan parsial lain yang selama ini dipakai mengupas tema jilbab: kajian keagamaan yang melulu bersumber pada teks agama, serta kajian kewilayahan yang hanya memotret jilbab sebagai produk budaya Timur Tengah.
  Fadwa El Guindi memperluas sudut pandang kajian jilbab dengan memasukkan pendekatan antropologi, khususnya etnografi. Namun, ia tetap meramu pendekatan itu dengan data sejarah dan teks agama (Al-Quran, hadis, dan tafsir). Buku ini tidak berpretensi membela ataupun menyerang jilbab, tetapi meletakkannya lebih proporsional sebagai model berpakaian multidimensi.
  Persoalan jilbab selama ini memang rentan pro-kontra. Pilihan mengharamkan jilbab sama kontroversialnya dengan beleid mewajibkan jilbab. Pada 1980-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah melarang siswi sekolah menengah mengenakan jilbab. Kebijakan ini menuai protes karena dianggap melanggar kebebasan asasi beragama. Ini karena banyak kalangan meyakini jilbab sebagai kewajiban agama.
  Sejarah juga mencatat, kebijakan penjajah Prancis yang melarang wanita Aljazair berkerudung justru memicu konsolidasi perlawanan anti-kolonial di negeri jajahan itu. Sebaliknya, pemaksaan wajib jilbab di berbagai daerah yang menerapkan syariat Islam juga memancing reaksi. Suara menolak datang dari para aktivis feminisme. Pemaksaan jilbab dipandang sebagai politisasi agama serta bentuk penindasan pada perempuan.
  Beberapa pekan lalu, kontroversi jilbab juga mengemuka di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kampus ini memang mewajibkan mahasiswinya berjilbab. Forum Mahasiswa Ciputat menentang kewajiban itu. ''Kami tolak kewajiban berjilbab, sebagaimana kami tolak larangan berjilbab,'' demikian bunyi pamflet mereka. Aksi ini ditentang unsur mahasiswa lain yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus.
  Lewat bukunya, Fadwa El Guindi tidak hendak memasuki perdebatan jilbab yang cenderung jalan di tempat itu. Melalui penelusuran sejarah dan bukti etnografis, peraih PhD dari Universitas Texas di Austin, Amerika Serikat, ini menunjukkan bahwa praktek berjilbab di berbagai kawasan memiliki sejarah dan fungsi sosial berbeda-beda. Dimensinya juga jauh lebih luas ketimbang hasil kajian selama ini.
  Bukan Monopoli Islam
  TEMUAN Fadwa El Guindi menunjukkan memang ada praktek jilbab yang mengandung pesan pengucilan perempuan (seclusion) seperti di Bizantium dan Yunani. Namun, ada juga kasus di mana jilbab merupakan simbol kelas sosial tinggi, seperti di Mesopotamia. Bahkan jilbab menjadi simbol kejantanan pria suku Tuareg di Sahara, Afrika. Pengabaian fakta ini adalah kelemahan pendekatan kajian wanita.
  Sementara kepada para penganut pendekatan kajian keagamaan, Fadwa menunjukkan bahwa berjilbab bukan hanya monopoli teks dan tradisi keagamaan Islam. Melainkan juga pernah menjadi kebiasaan wanita Yahudi, dan sampai kini masih menjadi kostum kebesaran para biarawati Kristen. Terhadap pengguna kajian kawasan yang melihat jilbab sebagai produk budaya Arab, buku ini menyodorkan bukti antropologis bahwa jilbab justru berasal dari tradisi Mesopotamia dan Bizantium.
  Pelacakan sejarah dalam buku ini menemukan lima pola perilaku berjilbab. Pertama, pola komplementaritas gender di Sumeria. Kawasan ini mengenal peran saling melengkapi antara lelaki dan perempuan. Peran itu dipengaruhi mitos penciptaan Dilmun (kini Bahrain). Dilmun diciptakan akibat persatuan dewa laki-laki (Enki) dan dewa perempuan (Nimsikil).
  Enki selaku Dewa Air menyirami Nimsikil yang Dewa Tanah. Ladang Nimsikil menjadi penuh tanaman. Kota-kotanya mejadi pelabuhan ramai. Air merasa kesepian tanpa tanah. Tanah tidak akan subur tanpa air. Dilmun tercipta ketika tanah menjadi subur setelah kawin dengan air lalu melahirkan kehidupan.
  Kini, laki-laki di Bahrain bertugas mencari nafkah di laut: mencari ikan atau berdagang. Perempuan di darat menjadi kepala rumah tangga. Otoritas perempuan dalam urusan rumah tangga dapat dilihat di pedesaan Syiah kontemporer di Bahrain. Kunci setiap rumah dibawa si wanita, biasanya terikat pada jilbab mereka. Ini sekaligus simbol bahwa jilbab terkait erat dengan kekuasaan.
  Kedua, pola eksklusivitas kelas di Persia-Asyiria-Mesopotamia. Pemakai jilbab di Persia menunjukkan kelas sosial tinggi. Hukum Asyiria mewajibkan wanita bangsawan berjilbab. Para pelayan wajib berjilbab hanya selama mendampingi wanita bangsawan. Sedangkan kalangan budak dan para pelacur dilarang memakai jilbab. Kecuali setelah mereka menikah.
  Terpergok Berjilbab, Potong Telinga
  PELANGGARAN aturan itu diancam sanksi berat. Barang siapa tertangkap secara ilegal berjilbab bisa dihukum dera, disiram cairan hitam di kepalanya, dan potong telinga. Lelaki yang melihat gadis budak berjilbab dan membiarkannya bisa dicambuk 50 kali, telinganya dilukai, dan harus bekerja untuk raja satu bulan penuh. Jilbab menandai pembagian kelas. Tanda eksklusivitas, status istimewa, dan privasi.
  Ketiga, pola hierarki gender dalam kebudayaan Hellenis (Yunani). Fondasi ideologi masyarakat Yunani bertumpu pada ide-ide Aristoteles. Ide filsuf Yunani terkemuka itu mempengaruhi konstruksi budaya tentang gender. Teori-teori Aristoteles, menurut Fadwa El Guindi, menggagas wanita sekadar subordinat kehidupan sosial. Secara kodrat dan biologis inferior. Baik dalam kapasitas mental maupun kemampuan fisiknya. Posisinya harus tunduk-patuh. Tubuhnya tidak sempurna.
  Wanita merdeka dalam masyarakat Yunani klasik (550-323 SM) di Athena sebelum Kristen digambarkan sebagai wanita yang begitu ketat dipingit, sehingga tidak dapat dilihat laki-laki yang bukan keluarga dekat. Mirip dengan Yunani pedesaan kontemporer, seperti dijelaskan etnografi, laki-laki dan wanita mempunyai kehidupan terpisah. Laki-laki dalam wilayah publik, seperti pasar dan gedung olahraga. Sementara wanita ''terhormat'' tinggal di rumah.
  Wanita diharapkan dapat membatasi diri dalam lingkungannya, mengelola rumah tangga, serta mengenakan pakaian yang dapat menyembunyikan diri dari mata laki-laki asing. Wanita Yunani digambarkan terkungkung dalam ruangan-ruangan pedalaman, jauh dari jalan, dan terpisah dari bagian rumah untuk umum. Mereka menutupi kepalanya dengan sehelai selendang dan dihormati karena selalu diam dan patuh.
  Keempat, pola egalitarianisme Mesir. Mesir kuno terhitung sebagai masyarakat Mediterania dan Timur Tengah satu-satunya yang wanitanya tidak menutup muka dan kepala. Kebanyakan feminis menerima premis bahwa kesetaraan gender menjadi salah satu kelebihan Mesir kuno. Kondisi egaliter yang dinikmati wanita Mesir bahkan mengejutkan orang Yunani yang menaklukkannya.
  Ketika hukum Yunani-Romawi merasuki Mesir, wanita Mesir justru kehilangan sebagian besar haknya. Sebaliknya, setelah Yunani menjalin kontak dengan Mesir, posisi wanita dalam masyarakat Hellenis makin baik. Mereka lebih bebas, dilayani lebih baik di depan hukum, tidak dipingit, dan tidak dihambat bergaul dengan laki-laki. Ini karena semangat penghargaan pada wanita ala Mesir mulai mempengaruhi hukum Yunani.
  Nabi Muhammad Juga Menutup Muka
  WANITA dalam peradaban Mesir menjadi partisipan penuh dalam ekonomi, memiliki properti, melakukan transaksi, dan mengurus keuangan sendiri. Mereka tidak dipingit. Peran mereka dalam masyarakat bukan semata urusan reproduksi. Merosotnya posisi dan hak-hak wanita di Mesir terjadi jauh sebelum Islam datang. Bahkan sebelum penaklukan Arab. Ini lebih disebabkan pengaruh Eropa era Kristen.
  Kelima, pola pemingitan wanita di Bizantium. Masyarakat Bizantium merepresentasikan perkembangan penting dalam pemikiran dan praktek Kristen. Dalam ideologi gender Kristen, konsep kesucian dalam praktek diterjemahkan menjadi aseksualitas, dicerminkan dalam lembaga pemingitan wanita, ajaran membujang, dan kelahiran perawan.
  Semua itu berkembang menjadi batasan-batasan ketat soal kewanitaan dan berpakaian. Dalam budaya Kristen, pemingitan lebih diasosiasikan pada agama dan konsep-konsep tentang kemurnian agama. Jilbab dan pemingitan merupakan bagian dari struktur dan etos institusional masyarakat Yunani dan Bizantium.
  Sesuai dengan konsep Yunani kuno tentang wanita, ada kearifan tradisional Yahudi yang menekankan bahwa wanita adalah sumber tipu daya, menggairahkan, dan sumber kekacauan. Wanita diciptakan untuk laki-laki sebagai penjaga anak-anak dan teman di atas ranjang. Berdasarkan ini, kelompok Yahudi Essenes, sekte yang berdiam di Engeddi dekat Laut Mati, mencampakkan wanita dan menganut kehidupan berpantang secara permanen.
  Arsip sejarah ternyata memberi gambaran lebih majemuk tentang jilbab. Temuan Fadwa El Guindi di Universitas 'Ain Syams bahwa ternyata lelaki juga berjilbab mendorongnya meneliti lebih jauh. Eksplorasi data tekstual Islam melahirkan temuan baru. Disebutkan bahwa Nabi Muhammad menutup mukanya dalam beberapa kesempatan. Nabi juga pernah memakaikan jilbab pada sahabatnya.
  Sejumlah laki-laki Arab pra-Islam dikenal dengan gelar dzu khimr (orang ber-khimr --nama lain jilbab). Ada nama 'Auf ibn al-Rabi' yang kerap bertempur sambil mengenakan jilbab istrinya, dan selalu menang. Terdapat cukup bukti bahwa laki-laki berjilbab pada masa kontemporer.
  Simbol Perjuangan Nasional
  PARA pria Tuareg, kelompok muslim barbar di Sahara, Afrika, sampai kini masih berjilbab. Dalam dialek Tuareg, jilbab dinamakan tegelmoust. Citra yang terpancar dari jilbab laki-laki adalah kejantanan dan maskulinitas. Ada kebanggaan bagi lelaki Arab dan Afrika Utara ketika memakai turban dan jilbab saat mengendarai unta atau kuda.
  Jilbab dalam ruang sosial, menurut buku ini, dapat bercerita tentang banyak hal: privasi, identitas, status keluarga, peringkat, dan kelas. Jilbab juga dapat menjadi sarana pembebasan dan resistensi. Hal itu bisa dilihat dalam perjuangan Aljazair membebaskan diri dari penjahan Prancis, perlawanan intifadah di Palestina, dan revolusi di Iran.
  Prancis menggarap jilbab sebagai target strategi kolonial. Wanita Aljazair didorong melepaskan jilbab. Penjajah menghormati wanita yang tidak berjilbab. Upacara pelepasan jilbab pada Mei 1958, misalnya, diiringi semboyan ''Vive l'Algerie Francaise'' (Hidup Aljazair Prancis!). Laki-laki Aljazair dibuat merasa bersalah memiliki istri berjilbab.
  Proses ini berlangsung dengan dalih memodernisasi Aljazair. Tapi, rakyat Aljazair memandangnya sebagai penghinaan akar budaya. Proses pelepasan jilbab dipandang sebagai strategi kolonial memerkosa kebudayaan. Efeknya adalah konsolidasi perlawanan terhadap Prancis. Jilbab dijadikan simbol nasional perjuangan wanita Aljazair sekaligus sumber vitalitas baru.
  Asrori S. Karni GATRA  
                   ************************* 
                    Created at 12:52 PM 
                    ************************* 
                     
                   
                  
                  | 
                  | 
                welcome 
                   
                   
                     
                    hello
                   MENU 
                   
                  HOME
Cinta Ku 
Cinta - Al- Qur'an & Hadist 
Cinta - Artikel 
Cinta - Berita 
Cinta - Busana & Perkawinan 
Cinta - Cerita 
Cinta - Doa 
Cinta - Kecantikan 
Cinta - Kesehatan 
Cinta - Liputan Khusus 
Cinta - Masakan & Minuman 
Cinta - Musik 
Cinta - Muslimah 
Cinta - Puisi 
Cinta - Rukun Iman & Islam 
                   Linkzz 
                  Archieve 
                     January 2005[x] February 2005[x] September 2005[x] 
                     
                      
                      
                       | 
                  |